Translate

Jumat, 19 Agustus 2022

Bahan Ajar Pendidikan Agama Buddha Kelas 5 Sekolah Dasar KD 3.1

 

MATERI PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI KELAS V (LIMA)

SEKOLAH DASAR DHAMMASOKA BANJARMASIN

 

 

Kompetensi Dasar:

3.1. Memahami masa bertapa dan gangguan mara

 

 

Materi Ajar

Pertemuan 1

 

Bertemu dengan Raja Bimbisara

 

Setelah menjadi petapa, Siddharta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan pertapaannya di hutan mangga yang disebut Anupiya kemudian berjalan kaki sejauh tiga puluh yojanà menuju Kota Ràjagaha. Tujuh hari sebelum Petapa Siddharta memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, melewati sebuah festival sedang dirayakan. Pada waktu Bodhisatta memasuki kota, Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan  enderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya  asing-masing.” Pada waktu itu para penduduk masih berkumpul dihalaman istana. Sewaktu  aja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, ia melihat Petapa Siddharta memasuki Ràjagaha dengan penuh ketenangan. Melihat penampilan yang anggun, para penduduk Ràjagaha menjadi sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka. Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.” Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihatNya dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang ini; jika ia adalah yakkha, ia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini; jika ia adalah dewa, ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga, ia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan makanannya di tempat tertentu.” Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Petapa Siddharta dan mengamati diri petapa. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava. Petapa tersebut sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.” Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat petapa Siddharta di puncak Gunung Pandava, sejauh yang dapat dilewati oleh kereta itu. Kemudian raja meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Petapa Siddharta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari petapa dan merasa terkesan oleh sikap Petapa Siddharta. Ia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Anga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah raja menanyai Petapa Siddharta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Petapa Siddharta memberitahukan Raja Bimbisàra bahwa Beliau berasal dari keturunan Sàkya dan telah memutuskan untuk menjadi petapa; bahwa Beliau tidak tertarik dengan semua kenikmatan materi; dan bahwa, setelah menjadi petapa dengan tujuan untuk mencapai Nibbàna, Beliau akan mengasingkan diri ke dalam hutan dan mempraktikkan dukkaracariya agar dapat lebih cepat mencapai Nibbàna. Kemudian Raja Bimbisàra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhartha’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai pencerahan sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telahmencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.

 

Pertemuan 2

Berguru pada Alara Kalama

Setelah bertemu dengan Raja Bimbisàra, Petapa Siddharta melanjutkan perjalanan untuk mencari kebahagiaan tertinggi (Nibbàna). Dalam perjalanan tersebut, Beliautiba di tempat kediaman seorang guru agama bernama Alara dari suku Kàlàma.Sesampainya di tempat kediaman Alara Kalama, Petapa Siddharta mengajukanpermohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku ingin menjalanikehidupan suci sesuai caramu.” Alara mengabulkan permohonan itu dengan mengucapkankata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari bergabung bersama kami! Dengancara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan dapat memahami pandangan gurunyadalam waktu singkat dan dapat mempertahankan kebahagiaan.”Dengan kecerdasan-Nya, Petapa Siddharta dapat dengan mudah mempelajari danmempraktikkan ajaran Alara. Hanya dengan mengulangi kata-kata guru-Nya dengansedikit gerakan bibir, Petapa Siddharta mencapai tahap di mana Beliau dapat mengatakan,“Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihatajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa lainnya menerima pernyataan-Nya. Alara berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan matakepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti diri-Mu. Adalah keuntunganbesar bagi kami, Sahabat!” “Di dunia yang dikuasai oleh pikiran jahat seperti sifat irihati (issà), yaitu rasa cemburu yang disebabkan oleh kesejahteraan dan keberuntunganorang lain. Alara si pemimpin aliran, sebagai seorang mulia yang bebas dari rasa irihati, secara terbuka mengungkapkan pujian terhadap Petapa Siddharta yang memilikikecerdasan, cepat belajar yang tiada bandingnya. Sebagai seorang yang memilikikejujuran dan keinginan untuk memuji mereka yang patut dipuji (chanda), dialah Alara,

guru mulia yang memiliki kebijaksanaan tanpa cela yang patut diteladani.Setelah berusaha dan berhasil mencapai meditasi tingkat tinggi. Mula-mula berdiamdalam pencapaian itu dan menikmatinya. Beliau melihat dengan jelas kekurangan yangterdapat dalam pencapaian tersebut, yaitu tidak dapat membebaskan dari lingkaranpenderitaan. Beliau menjadi tidak tertarik dalam melatih pencapaian ini. Oleh karenapencapaian ini tidak dapat membebaskan dari penderitaan (Nibbana). Beliau tidaktertarik lagi dan pamit meninggalkan Alara Kalama sebagai guru pertamanya.

 

Pertemuan 3

Berguru pada Udaka Ramaputta

Setelah meninggalkan guru pertamanya, yaitu Alara Kalama, Beliau pergi mengembarahingga akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain, Udakaputra Ràma (Udaka Ramaputta), Beliau mengajukan permohonan ingin menjalanikehidupan suci sesuai caranya.” Permohonan tersebut diterima dengan baik. Jika ajaranini dipraktikkan dan sungguh-sungguh dengan tekun, akan memungkinkan dalam waktusingkat menguasai kekuatan batin luar biasa (Abhinnà). Jika mengikuti cara dan pandanganguru (àcariya-vàda) akan hidup berbahagia.” Dengan cerdas dan ulet Petapa Siddhartatidak membuang-buang waktu untuk mempelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkanlatihan sehingga dalam waktu singkat Petapa Siddharta mampu mengerti dengan jelasajaran Udaka Ramaputta. Hal ini diakui oleh Udaka dan siswa-siswa lainnya.Petapa Siddharta mendekati Udaka si pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat,sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma guru besar, mengatakan mengenai penembusanajarannya oleh dirinya?” Udaka menjawab bahwa ayahnya telah mencapai tahapankonsentrasi dalam meditasi (Jhàna) tingkat tinggi yang disebut tingkat pencerapanpun bukan tidak pencerapan (Nevasannàvàsannàyatana Jhàna). Petapa Siddhartaberkata, “Sahabat, Aku juga telah mencapai tingkat tersebut dan berdiam di sana penuhkebahagiaan.”Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifategois (micchariya), Udaka Ramaputta telah menyaksikan sendiri bahwa ada seorangpetapa yang sangat cerdas seperti Petapa Siddharta. Sehingga Udaka berkata, bahwakeuntungan besar bagi kami, memiliki sahabat seperti Anda!. Akhirnya UdakaRamaputta menyerahkan seluruh kelompok aliran tersebut kepada Petapa Siddhartadan mengangkat-Nya sebagai guru bagi kelompoknya.Pencapaian meditasi tingkat yang disebut tahap pencerapan pun bukan tidakpencerapan ini pun dilihat dengan jelas oleh Petapa Siddharta bahwa hal ini masihberada dalam lingkaran penderitaan. Pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaranpenderitaan dari usia tua, sakit, dan kematian. Akhirnya, Beliau pun meninggalkanUdaka Ramaputta karena pencapaiannya hanyalah sebatas di alam duniawi yang belumterbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian.

 

Pertemuan 4

Bertapa Menyiksa diri di Uruvela

Setelah meninggalkan Udaka, Petapa Siddharta pergi ke Negara Magadha danakhirnya sampai di Kota Sena. Di dekat kota ini terdapat sebuah hutan bernamaUruvela. Di tempat inilah Petapa Siddharta bersama-sama dengan lima orang petapa,yaitu Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji berlatih dalam berbagai carausaha keras yang disebut penyiksaan diri (dukkaracariya). Usaha keras ini dijelaskandalam empat tingkat yaitu (1) “Meskipun yang tersisa tinggal kulit,” (2) “Meskipunyang tersisa tinggal urat,” (3) “Meskipun yang tersisa tinggal tulang,” dan (4) “Meskipundaging dan darah-Ku menguap”.Berikut ini adalah praktik penyiksaan diri (dukkaracariya) yang dilakukan PetapaSiddharta yang dianggapNya dapat membantu mencapai kebuddhaan:a. Berhenti mengumpulkan dana makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuhdari pohon di hutan Uruvela.b. Bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di mana Beliau tinggal.c. Menjemur di bawah terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malamberendam di sungai dalam waktu yang lama.d. Menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan kesadaran-kesadaranyang tidak baik dengan kesadaran yang baik.e. Mengembangkan Appanāka-Jhāna, yaitu usaha terus menerus menahan napas yangmasuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk ataukeluar. Demikianlah, karena setiap usahanya tidak membuahkan hasil, maka Beliaumeningkatkan usahanya dengan latihan yang lebih tinggi lagi hingga menimbulkansakit yang demikian hebat. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnyaia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta uletdalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidakmembawanya ke Penerangan Agung Ia berhenti dan mencoba cara yang lain.Mengalami panas yang luar biasa di seluruh tubuh-Nya, Beliau pingsan dan jatuhterduduk selagi berjalan. (Beliau tidak jatuh terjerembab seperti orang pada umumnya,karena Beliau memiliki perhatian yang sangat kuat, Beliau hanya jatuh terduduk). KetikaBeliau jatuh dalam posisi demikian, para dewa yang berada di dekatnya mengucapkantiga pendapat: (1) Para dewa berkata, “Samaṇa Gotama telah mati.” (2) Beberapa dewalain berkata, “Samaṇa Gotama belum mati. Beliau sekarat.” (3) Beberapa dewa lainberkata, “Samaṇa Gotama tidak mati ataupun sekarat; Samaṇa Gotama telah menjadiArahat; dalam postur demikianlah biasanya seorang Arahat duduk.”Setelah bangun dari pingsanNya, selanjutnya Beliau berpuasa dan tidak makan apaapasampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai hanyamakan beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannyakurus sekali. Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dankalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorakhidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warnakulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiritidak bisa diam karena kakinya gemetaran.Demikianlah, Beliau melakukannya selama enam tahun. Namun semua usahanyabelum membawa Beliau mendapatkan apa yang dicarinya.

 

Pertemuan 5

Perumpamaan Gitar dan Kayu

Pada suatu hari serombongan penyanyi lewat dekat gubuk Petapa Siddharta sambilberjalan mereka bergurau dan bergembira, dan seorang diantara mereka menyanyidengan syair sebagai berikut:“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarikterlalu kendor ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalurendah atau keras. Orang yang memainkannya harus pandai menimbang danmengiranya.”Mendengar nyanyian itu Petapa Siddharta mengangkat kepalanya dan memandangdengan heran kepada rombongan penyanyi tersebut. Dalam hatinya ia berkata:“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang calon Buddha (Bodhisattva)mesti menerima pelajaran dari rombongan penyanyi. Karena bodoh aku telahmenarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus.Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalukendor.”Mendengar syair lagu dari serombongan penyanyi tersebut, Petapa Siddharta kemudianmenyadari bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tibatimbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir. Selanjutnya beliau berpikir:Pertama:“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawasepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosokgosoknya)dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”Maka orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah dan ia hanyaakan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para petapa dan brahmanayang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinnya masih inginmenikmatinya pasti tak akan berhasil.”Kedua:“Kalau sekiranya sepotong kayu basahdiletakkan di tanah yang kering dan seorangmembawa sepotong kayu lain (yang biasadigunakan untuk membuat api denganmenggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Akuingin membuat api, aku ingin mendapatkanhawa panas.” Maka orang ini tidak mungkindapat membuat api dari kayu yang basah itudan ia hanya akan memperoleh keletihandan kesedihan. Begitu pula para petapadan brahmana yang masih terikat kepadakesenangan nafsu-nafsu indera dan batinnya

masih ingin menikmatinya pasti juga takakan berhasil.”Ketiga:“Kalau sekiranya sepotong kayu keringdiletakkan di tanah yang kering dan seorangmembawa sepotong kayu lain (yang biasadigunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Akuingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Maka orang ini pasti dapatmembuat api dari kayu yang kering itu. Begitu pula para petapa dan brahmana yangtidak terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinya juga tidak terikatlagi, maka petapa dan brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untukmemperoleh Penerangan Agung.”Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut, Petapa Siddharta mengambilkeputusan untuk mengakhiri puasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali kegubuknya Petapa Siddharta terjatuh pingsan di pinggir sungai. Waktu siuman ia sudahtidak bisa lagi berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang penggembala kambingbernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai.Dengan cepat ia memberikan susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenagaPetapa Siddharta pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuktempat ia bertapa. Sejak hari itu Petapa Siddharta diberi makan air tajin untukmengembalikan kekuatan dan kesehatannya, selanjutnya dalam waktu yang tidak lamaPetapa Siddharta sudah dapat makan makanan yang lain sehingga kesehatannya pulihkembali.

 

Pertemuan 6

Godaan Mara

Mara Terus Menggoda Petapa Siddharta

Masih ingatkah kalian, kapan Mara pertama kali menghalangi Pangeran Siddhartadalam upayanya mencapai kebuddhaan? Ya, saat Pangeran hendak meninggalkan istanaMara muncul menggodanya untuk tidak pergi. Sejak saat itu, Màra mengikuti selamaenam tahun mencari kesempatan untuk menyingkirkan Pangeran Siddharta. Maramenungggu pikiran pangeran Siddharta lengah. Mara Berkata, “Jika dalam pikiranMumuncul kebencian, keserakahan dan kebodohan, saat itu aku akan membunuh-Mu.”Namun sampai saat ini, selama enam tahun, Màra tidak berhasil menemukan pikiranpikiranseperti ini dalam diri Petapa Siddharta.Setelah enam tahun berlalu, Màra berpikir, “Petapa Siddharta memiliki semangatyang sangat tinggi. Penyiksaan diri (Dukkaracariya) yang Beliau praktikkan juga sangatkeras. Setiap saat Beliau dapat menjadi Buddha. Bagaimana jika aku mendekati-Nyadan memberikan nasihat, supaya Beliau berhenti latihan.” Kemudian Màra mendekatidan menasihati-Nya. Màra berkata:“O Sahabatku Pangeran Siddharta, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kehilangandaging dan darah. Kecantikan dan warna kulitnya telah memudar. Kematian-Mu telahmendekat; kesempatan untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya satu dibandingkan seribu.O Pangeran Siddharta, mohon Engkau menjaga diri-Mu sehingga Engkau dapat berumurpanjang. Umur yang panjang adalah hal yang paling berharga. Jika Engkau berumur panjang.Engkau dapat banyak melakukan kebajikan. Engkau dapat mengembangkan kebajikandengan menjalani sila atau melakukan upacara-upacara pengorbanan. Apalah gunanyamenjalani hidup seperti ini di dalam hutan dan mempraktikkan penyiksaan diri denganbegitu menderita dan begitu lemah tanpa mengetahui apakah Engkau dapat bertahan hidupatau mati.Petapa Siddharta mengusir Mara yang bermaksud jahat dengan berkata,“WahaiMàra, Engkau yang mengikat para makhluk dewa, brahmà dan manusia agar merekatidak dapat terbebaskan dari derita (samsàra)! Engkau datang demi keuntunganmupribadi dan dengan maksud-maksud tersembunyi bertujuan untuk mengganggu danmencelakakan makhluk-makhluk lain.”Petapa Siddharta menjawab rayuan Mara tentang umur panjang dengan berkata“Akutidak berkeinginan sedikit pun untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang mengarahkepada lingkaran penderitaan”.Meskipun Petapa Siddharta diancam dengan kematian dengan berkata, “O PangeranSiddharta, kematian-Mu sudah mendekat, kesempatan-Mu untuk tetap hidup sangatlahkecil, hanya seperseribu”. Beliau melawan Mara, dengan berkata,”Wahai Mara, Akumemiliki lima kualitas, yaitu Keyakinan (Saddha), Semangat (Viriya), Kebijaksanaan(Panna), Perhatian (Sati), dan Konsentrasi (Samadhi). Kelima kualitas inilah yang akanmengantarku mencapai Nibbana.Selanjutnya Petapa Siddharta dengan lantang menguraikan 10 bala tentara Māra yangmampu menjerat manusia biasa tetapi tidak bagi mereka yang memiliki 5 kualitas yangbesar. Sepuluh jerat Mara yaitu: (1) Nafsu-nafsu indria (kāma),( 2) kebencian (arati)dan ketidakpuasan (ukkanthita), (3) selalu merasa dahaga dan lapar (khuppipāsa), (4)kelelahan (tandi), (5) malas dan lembam (thina-middha), (6) rasa takut (bhiru), (7)keraguan (vicikicchā), (8) sombong dan angkuh (makkha-thamba),(9) kemelekatandan keangkuhan (tanha-mana), serta (10) mencela dan merendahkan orang lain(att’uukkamsa-paravambhana).“Wahai Màra, Aku ingin engkau mengenal-Ku sebagai berikut: ‘Pangeran Siddhartaini, sebagai manusia mulia, pahlawan sejati, setelah tiba di medan pertempuran, tidakakan mundur selangkahpun; Oleh karena itu, kenalilah Aku sebagai seseorang yangmeyakini: ‘Lebih baik mati di medan pertempuran daripada menyerah di depan balatentaramu.’ Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh Petapa Siddharta, Màrapergi dari tempat itu tanpa bisa memberikan jawaban apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar