MATERI PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA
BUDDHA DAN BUDI PEKERTI KELAS V (LIMA)
SEKOLAH DASAR DHAMMASOKA
BANJARMASIN
Kompetensi
Dasar:
3.1.
Memahami masa bertapa dan gangguan mara
Materi
Ajar
Pertemuan
1
Bertemu
dengan Raja Bimbisara
Setelah
menjadi petapa, Siddharta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan
pertapaannya di hutan mangga yang disebut Anupiya kemudian berjalan kaki sejauh
tiga puluh yojanà menuju Kota Ràjagaha. Tujuh hari sebelum Petapa Siddharta
memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, melewati sebuah
festival sedang dirayakan. Pada waktu Bodhisatta memasuki kota, Raja Bimbisàra
mengumumkan dengan tabuhan enderang,
“Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya asing-masing.” Pada waktu itu para penduduk
masih berkumpul dihalaman istana. Sewaktu
aja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang
diperlukan, ia melihat Petapa Siddharta memasuki Ràjagaha dengan penuh
ketenangan. Melihat penampilan yang anggun, para penduduk Ràjagaha menjadi
sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah
Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para
penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti,
mendatangi tempat mereka. Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara,
masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada
Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak
seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga
atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.”
Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihatNya dari teras atas di
istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang
ini; jika ia adalah yakkha, ia akan menghilang ketika tiba di luar kota
ini; jika ia adalah dewa, ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga, ia
akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan
makanannya di tempat tertentu.” Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja
Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Petapa Siddharta dan mengamati diri
petapa. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali
menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna
makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di
puncak Gunung Pandava. Petapa tersebut sama sekali tidak merasa takut bagaikan
raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang
diperolehnya.” Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai
kereta mewah menuju tempat petapa Siddharta di puncak Gunung Pandava, sejauh
yang dapat dilewati oleh kereta itu. Kemudian raja meninggalkan kereta dan
melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Petapa
Siddharta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari
petapa dan merasa terkesan oleh sikap Petapa Siddharta. Ia berkata, “Teman,
Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang
tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku
akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan
di dua negara Anga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja
dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah raja menanyai
Petapa Siddharta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Petapa Siddharta
memberitahukan Raja Bimbisàra bahwa Beliau berasal dari keturunan Sàkya dan
telah memutuskan untuk menjadi petapa; bahwa Beliau tidak tertarik dengan semua
kenikmatan materi; dan bahwa, setelah menjadi petapa dengan tujuan untuk
mencapai Nibbàna, Beliau akan mengasingkan diri ke dalam hutan dan mempraktikkan
dukkaracariya agar dapat lebih cepat mencapai Nibbàna. Kemudian Raja Bimbisàra
menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhartha’, putra
Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi
melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai pencerahan
sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita
agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha.
Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telahmencapai
Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan
sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.
Pertemuan
2
Berguru pada Alara Kalama
Setelah
bertemu dengan Raja Bimbisàra, Petapa Siddharta melanjutkan perjalanan untuk
mencari kebahagiaan tertinggi (Nibbàna). Dalam perjalanan tersebut,
Beliautiba di tempat kediaman seorang guru agama bernama Alara dari suku
Kàlàma.Sesampainya di tempat kediaman Alara Kalama, Petapa Siddharta
mengajukanpermohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku
ingin menjalanikehidupan suci sesuai caramu.” Alara mengabulkan permohonan itu
dengan mengucapkankata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari
bergabung bersama kami! Dengancara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan
dapat memahami pandangan gurunyadalam waktu singkat dan dapat mempertahankan
kebahagiaan.”Dengan kecerdasan-Nya, Petapa Siddharta dapat dengan mudah
mempelajari danmempraktikkan ajaran Alara. Hanya dengan mengulangi kata-kata
guru-Nya dengansedikit gerakan bibir, Petapa Siddharta mencapai tahap di mana
Beliau dapat mengatakan,“Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah
mengerti! Aku telah melihatajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa
lainnya menerima pernyataan-Nya. Alara berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami
telah menyaksikan dengan matakepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas
seperti diri-Mu. Adalah keuntunganbesar bagi kami, Sahabat!” “Di dunia yang
dikuasai oleh pikiran jahat seperti sifat irihati (issà), yaitu rasa
cemburu yang disebabkan oleh kesejahteraan dan keberuntunganorang lain. Alara
si pemimpin aliran, sebagai seorang mulia yang bebas dari rasa irihati, secara
terbuka mengungkapkan pujian terhadap Petapa Siddharta yang memilikikecerdasan,
cepat belajar yang tiada bandingnya. Sebagai seorang yang memilikikejujuran dan
keinginan untuk memuji mereka yang patut dipuji (chanda), dialah Alara,
guru
mulia yang memiliki kebijaksanaan tanpa cela yang patut diteladani.Setelah
berusaha dan berhasil mencapai meditasi tingkat tinggi. Mula-mula berdiamdalam
pencapaian itu dan menikmatinya. Beliau melihat dengan jelas kekurangan
yangterdapat dalam pencapaian tersebut, yaitu tidak dapat membebaskan dari
lingkaranpenderitaan. Beliau menjadi tidak tertarik dalam melatih pencapaian
ini. Oleh karenapencapaian ini tidak dapat membebaskan dari penderitaan (Nibbana).
Beliau tidaktertarik lagi dan pamit meninggalkan Alara Kalama sebagai guru
pertamanya.
Pertemuan
3
Berguru
pada Udaka Ramaputta
Setelah
meninggalkan guru pertamanya, yaitu Alara Kalama, Beliau pergi mengembarahingga
akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain,
Udakaputra Ràma (Udaka Ramaputta), Beliau mengajukan permohonan ingin
menjalanikehidupan suci sesuai caranya.” Permohonan tersebut diterima dengan baik.
Jika ajaranini dipraktikkan dan sungguh-sungguh dengan tekun, akan memungkinkan
dalam waktusingkat menguasai kekuatan batin luar biasa (Abhinnà). Jika
mengikuti cara dan pandanganguru (àcariya-vàda) akan hidup berbahagia.”
Dengan cerdas dan ulet Petapa Siddhartatidak membuang-buang waktu untuk
mempelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkanlatihan sehingga dalam waktu singkat
Petapa Siddharta mampu mengerti dengan jelasajaran Udaka Ramaputta. Hal ini
diakui oleh Udaka dan siswa-siswa lainnya.Petapa Siddharta mendekati Udaka si
pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat,sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma
guru besar, mengatakan mengenai penembusanajarannya oleh dirinya?” Udaka
menjawab bahwa ayahnya telah mencapai tahapankonsentrasi dalam meditasi (Jhàna)
tingkat tinggi yang disebut tingkat pencerapanpun bukan tidak pencerapan (Nevasannàvàsannàyatana
Jhàna). Petapa Siddhartaberkata, “Sahabat, Aku juga telah mencapai tingkat
tersebut dan berdiam di sana penuhkebahagiaan.”Sebagai seorang mulia yang telah
bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifategois (micchariya),
Udaka Ramaputta telah menyaksikan sendiri bahwa ada seorangpetapa yang sangat
cerdas seperti Petapa Siddharta. Sehingga Udaka berkata, bahwakeuntungan besar
bagi kami, memiliki sahabat seperti Anda!. Akhirnya UdakaRamaputta menyerahkan
seluruh kelompok aliran tersebut kepada Petapa Siddhartadan mengangkat-Nya
sebagai guru bagi kelompoknya.Pencapaian meditasi tingkat yang disebut tahap
pencerapan pun bukan tidakpencerapan ini pun dilihat dengan jelas oleh Petapa
Siddharta bahwa hal ini masihberada dalam lingkaran penderitaan. Pencapaian ini
tidak dapat mengakhiri lingkaranpenderitaan dari usia tua, sakit, dan kematian.
Akhirnya, Beliau pun meninggalkanUdaka Ramaputta karena pencapaiannya hanyalah
sebatas di alam duniawi yang belumterbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua,
dan kematian.
Pertemuan
4
Bertapa Menyiksa diri di Uruvela
Setelah
meninggalkan Udaka, Petapa Siddharta pergi ke Negara Magadha danakhirnya sampai
di Kota Sena. Di dekat kota ini terdapat sebuah hutan bernamaUruvela. Di tempat
inilah Petapa Siddharta bersama-sama dengan lima orang petapa,yaitu Kondanna,
Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji berlatih dalam berbagai carausaha keras
yang disebut penyiksaan diri (dukkaracariya). Usaha keras ini
dijelaskandalam empat tingkat yaitu (1) “Meskipun yang tersisa tinggal kulit,”
(2) “Meskipunyang tersisa tinggal urat,” (3) “Meskipun yang tersisa tinggal
tulang,” dan (4) “Meskipundaging dan darah-Ku menguap”.Berikut ini adalah
praktik penyiksaan diri (dukkaracariya) yang dilakukan PetapaSiddharta
yang dianggapNya dapat membantu mencapai kebuddhaan:a. Berhenti mengumpulkan
dana makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuhdari pohon di hutan
Uruvela.b. Bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di
mana Beliau tinggal.c. Menjemur di bawah terik matahari pada siang hari dan
pada waktu tengah malamberendam di sungai dalam waktu yang lama.d.
Menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan
kesadaran-kesadaranyang tidak baik dengan kesadaran yang baik.e. Mengembangkan Appanāka-Jhāna,
yaitu usaha terus menerus menahan napas yangmasuk dan keluar melalui mulut
atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk ataukeluar. Demikianlah, karena
setiap usahanya tidak membuahkan hasil, maka Beliaumeningkatkan usahanya dengan
latihan yang lebih tinggi lagi hingga menimbulkansakit yang demikian hebat.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnyaia berusaha agar
batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta uletdalam
usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini
tidakmembawanya ke Penerangan Agung Ia berhenti dan mencoba cara yang
lain.Mengalami panas yang luar biasa di seluruh tubuh-Nya, Beliau pingsan dan
jatuhterduduk selagi berjalan. (Beliau tidak jatuh terjerembab seperti orang
pada umumnya,karena Beliau memiliki perhatian yang sangat kuat, Beliau hanya
jatuh terduduk). KetikaBeliau jatuh dalam posisi demikian, para dewa yang
berada di dekatnya mengucapkantiga pendapat: (1) Para dewa berkata, “Samaṇa
Gotama telah mati.” (2) Beberapa dewalain berkata, “Samaṇa Gotama belum mati.
Beliau sekarat.” (3) Beberapa dewa lainberkata, “Samaṇa Gotama tidak mati
ataupun sekarat; Samaṇa Gotama telah menjadiArahat; dalam postur demikianlah
biasanya seorang Arahat duduk.”Setelah bangun dari pingsanNya, selanjutnya
Beliau berpuasa dan tidak makan apaapasampai berhari-hari atau mengurangi
makannya sedikit demi sedikit sampai hanyamakan beberapa butir nasi satu hari.
Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannyakurus sekali. Kalau perutnya
ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dankalau punggungnya ditekan
maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorakhidup dengan tulang-tulang
dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warnakulitnya berubah
menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiritidak bisa diam
karena kakinya gemetaran.Demikianlah, Beliau melakukannya selama enam tahun.
Namun semua usahanyabelum membawa Beliau mendapatkan apa yang dicarinya.
Pertemuan
5
Perumpamaan Gitar dan Kayu
Pada
suatu hari serombongan penyanyi lewat dekat gubuk Petapa Siddharta
sambilberjalan mereka bergurau dan bergembira, dan seorang diantara mereka
menyanyidengan syair sebagai berikut:“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras,
talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarikterlalu kendor ia tak dapat
mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalurendah atau keras. Orang yang
memainkannya harus pandai menimbang danmengiranya.”Mendengar nyanyian itu
Petapa Siddharta mengangkat kepalanya dan memandangdengan heran kepada
rombongan penyanyi tersebut. Dalam hatinya ia berkata:“Sungguh aneh keadaan di
dunia ini bahwa seorang calon Buddha (Bodhisattva)mesti menerima pelajaran dari
rombongan penyanyi. Karena bodoh aku telahmenarik demikian keras tali
penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus.Memang seharusnya aku tidak
boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalukendor.”Mendengar syair lagu
dari serombongan penyanyi tersebut, Petapa Siddharta kemudianmenyadari bahwa
cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tibatimbul dalam
batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir. Selanjutnya
beliau berpikir:Pertama:“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di
dalam air dan seorang membawasepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk
membuat api dengan menggosokgosoknya)dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku
ingin mendapatkan hawa panas.”Maka orang ini tidak mungkin dapat membuat api
dari kayu yang basah dan ia hanyaakan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu
pula para petapa dan brahmanayang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu
indera dan batinnya masih inginmenikmatinya pasti tak akan berhasil.”Kedua:“Kalau
sekiranya sepotong kayu basahdiletakkan di tanah yang kering dan seorangmembawa
sepotong kayu lain (yang biasadigunakan untuk membuat api
denganmenggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Akuingin membuat api, aku ingin
mendapatkanhawa panas.” Maka orang ini tidak mungkindapat membuat api dari kayu
yang basah itudan ia hanya akan memperoleh keletihandan kesedihan. Begitu pula
para petapadan brahmana yang masih terikat kepadakesenangan nafsu-nafsu indera
dan batinnya
masih
ingin menikmatinya pasti juga takakan berhasil.”Ketiga:“Kalau sekiranya
sepotong kayu keringdiletakkan di tanah yang kering dan seorangmembawa sepotong
kayu lain (yang biasadigunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan
ia pikir: “Akuingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Maka orang
ini pasti dapatmembuat api dari kayu yang kering itu. Begitu pula para petapa dan
brahmana yangtidak terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinya
juga tidak terikatlagi, maka petapa dan brahmana itu berada dalam keadaan yang
baik sekali untukmemperoleh Penerangan Agung.”Setelah merenungkan tiga
perumpamaan tersebut, Petapa Siddharta mengambilkeputusan untuk mengakhiri
puasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali kegubuknya Petapa Siddharta
terjatuh pingsan di pinggir sungai. Waktu siuman ia sudahtidak bisa lagi
berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang penggembala kambingbernama Nanda
yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai.Dengan cepat
ia memberikan susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenagaPetapa
Siddharta pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuktempat
ia bertapa. Sejak hari itu Petapa Siddharta diberi makan air tajin
untukmengembalikan kekuatan dan kesehatannya, selanjutnya dalam waktu yang
tidak lamaPetapa Siddharta sudah dapat makan makanan yang lain sehingga
kesehatannya pulihkembali.
Pertemuan
6
Godaan Mara
Mara
Terus Menggoda Petapa Siddharta
Masih
ingatkah kalian, kapan Mara pertama kali menghalangi Pangeran Siddhartadalam
upayanya mencapai kebuddhaan? Ya, saat Pangeran hendak meninggalkan istanaMara
muncul menggodanya untuk tidak pergi. Sejak saat itu, Màra mengikuti selamaenam
tahun mencari kesempatan untuk menyingkirkan Pangeran Siddharta. Maramenungggu
pikiran pangeran Siddharta lengah. Mara Berkata, “Jika dalam pikiranMumuncul
kebencian, keserakahan dan kebodohan, saat itu aku akan membunuh-Mu.”Namun
sampai saat ini, selama enam tahun, Màra tidak berhasil menemukan
pikiranpikiranseperti ini dalam diri Petapa Siddharta.Setelah enam tahun
berlalu, Màra berpikir, “Petapa Siddharta memiliki semangatyang sangat tinggi.
Penyiksaan diri (Dukkaracariya) yang Beliau praktikkan juga sangatkeras.
Setiap saat Beliau dapat menjadi Buddha. Bagaimana jika aku mendekati-Nyadan
memberikan nasihat, supaya Beliau berhenti latihan.” Kemudian Màra mendekatidan
menasihati-Nya. Màra berkata:“O Sahabatku Pangeran Siddharta, seluruh tubuh-Mu
begitu kurus karena kehilangandaging dan darah. Kecantikan dan warna kulitnya
telah memudar. Kematian-Mu telahmendekat; kesempatan untuk tetap hidup
sangatlah kecil, hanya satu dibandingkan seribu.O Pangeran Siddharta, mohon
Engkau menjaga diri-Mu sehingga Engkau dapat berumurpanjang. Umur yang panjang
adalah hal yang paling berharga. Jika Engkau berumur panjang.Engkau dapat
banyak melakukan kebajikan. Engkau dapat mengembangkan kebajikandengan
menjalani sila atau melakukan upacara-upacara pengorbanan. Apalah
gunanyamenjalani hidup seperti ini di dalam hutan dan mempraktikkan penyiksaan
diri denganbegitu menderita dan begitu lemah tanpa mengetahui apakah Engkau
dapat bertahan hidupatau mati.Petapa Siddharta mengusir Mara yang bermaksud
jahat dengan berkata,“WahaiMàra, Engkau yang mengikat para makhluk dewa, brahmà
dan manusia agar merekatidak dapat terbebaskan dari derita (samsàra)! Engkau
datang demi keuntunganmupribadi dan dengan maksud-maksud tersembunyi bertujuan
untuk mengganggu danmencelakakan makhluk-makhluk lain.”Petapa Siddharta
menjawab rayuan Mara tentang umur panjang dengan berkata“Akutidak berkeinginan
sedikit pun untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang mengarahkepada lingkaran
penderitaan”.Meskipun Petapa Siddharta diancam dengan kematian dengan berkata,
“O PangeranSiddharta, kematian-Mu sudah mendekat, kesempatan-Mu untuk tetap
hidup sangatlahkecil, hanya seperseribu”. Beliau melawan Mara, dengan
berkata,”Wahai Mara, Akumemiliki lima kualitas, yaitu Keyakinan (Saddha),
Semangat (Viriya), Kebijaksanaan(Panna), Perhatian (Sati),
dan Konsentrasi (Samadhi). Kelima kualitas inilah yang akanmengantarku
mencapai Nibbana.Selanjutnya Petapa Siddharta dengan lantang menguraikan 10
bala tentara Māra yangmampu menjerat manusia biasa tetapi tidak bagi mereka
yang memiliki 5 kualitas yangbesar. Sepuluh jerat Mara yaitu: (1) Nafsu-nafsu
indria (kāma),( 2) kebencian (arati)dan ketidakpuasan (ukkanthita),
(3) selalu merasa dahaga dan lapar (khuppipāsa), (4)kelelahan (tandi),
(5) malas dan lembam (thina-middha), (6) rasa takut (bhiru),
(7)keraguan (vicikicchā), (8) sombong dan angkuh (makkha-thamba),(9)
kemelekatandan keangkuhan (tanha-mana), serta (10) mencela dan
merendahkan orang lain(att’uukkamsa-paravambhana).“Wahai Màra, Aku ingin
engkau mengenal-Ku sebagai berikut: ‘Pangeran Siddhartaini, sebagai manusia
mulia, pahlawan sejati, setelah tiba di medan pertempuran, tidakakan mundur
selangkahpun; Oleh karena itu, kenalilah Aku sebagai seseorang yangmeyakini:
‘Lebih baik mati di medan pertempuran daripada menyerah di depan
balatentaramu.’ Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh Petapa
Siddharta, Màrapergi dari tempat itu tanpa bisa memberikan jawaban apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar